Monday, June 12, 2006

Merger Bank, Kendala dan Solusinya

Oleh : Hari Prasetya

Kenapa Harus Merger?

Melalui Arsitektur Perbankan Indonesia, industri perbankan dirancang menjadi lebih kuat dalam menghadapi gangguan baik yang berasal dari dalam maupun dari luar, sehingga kejadian seperti krisis tahun 1998 dapat dihindari atau paling tidak diantisipasi dengan baik.

Pada saat ini kemampuan permodalan perbankan Indonesia dianggap masih belum begitu kuat. Dengan kapasitas yang terbatas tersebut akan sulit bagi perbankan kita untuk meningkatkan kemampuannya dalam mengelola usaha dan risiko untuk mendukung pertumbuhan kredit yang diharapkan.

Keterbatasan permodalan tersebut juga mengakibatkan bank kita kurang dapat berkiprah di tingkat internasional, bahkan untuk kawasan regional pun kita masih tertinggal dengan bank dari Malaysia dan Singapura.


Dalam rangka memperkuat struktur permodalan, Bank Indonesia menetapkan modal inti minimal bank umum pada akhir tahun 2007 sebesar Rp 80 miliar, dan pada akhir tahun 2010 minimal sebesar Rp 100 miliar. Pada akhir tahun 2006 masih terdapat sekitar 41 bank umum yang mempunyai modal inti kurang dari Rp 100 milyar, 26 di antaranya bermodal inti kurang dari Rp 80 milyar.

Sebagai upaya memenuhi ketentuan modal inti minimum tersebut, bank dapat menempuh berbagai upaya antara lain: penambahan modal; merger; penerbitan saham; dan/atau penerbitan subordinated loan. Pada kondisi saat ini merger nampaknya merupakan pilihan yang dianggap relatif lebih feasible.

Untuk mendorong merger, Bank Indonesia memberi berbagai insentif, sebaliknya bagi pengurus dan pemilik bank yang layak merger namun tidak bersedia melakukannya akan dikenakan sanksi.

Strategic vs Mandatory Merger

Menurut textbook merger merupakan strategi untuk menghasilkan sinergi di antara peserta merger dalam rangka menciptakan nilai tambah yang berkelanjutan yang bertumpu pada peningkatan kinerja.

Pada tataran praktis, tujuan merger bank adalah untuk memperkuat struktur permodalan; memperbesar kapasitas penyerapan risiko; meningkatkan daya saing; serta memperluas basis nasabah.

Apabila merger dilakukan sebagai strategi bisnis, peserta merger memiliki kecocokan chemistry, serta adanya waktu yang cukup untuk uji tuntas, sinergi dan tujuan merger tersebut di atas relatif lebih mudah tercapai.

Sebaliknya apabila merger dilakukan antara bank yang mempunyai masalah dan didorong sekadar memenuhi ketentuan (mandatory merger), maka merger tersebut dapat berpotensi menimbulkan masalah yang lebih besar di kemudian hari.

Mengapa Merger Kurang Diminati?

Pada saat ini terdapat lebih banyak bank yang sedang dalam proses akuisisi daripada dalam proses merger. Salah satu alasan yang menjadi kambing hitam kurang berminatnya bank melakukan merger adalah faktor pajak.

Sejatinya ada faktor lain yang mungkin menjadi penyebabnya, yakni belum adanya contoh sukses bank hasil merger di Indonesia. Merger antara empat bank milik Pemerintah menjadi Bank Mandiri, penggabungan beberapa bank rekap ke dalam Bank Danamon, dan bergabungnya lima bank menjadi Bank Permata memang mampu menghasilkan bank pascamerger yang berkinerja bagus.

Namun perlu dicatat bahwa semua merger tersebut dapat berlangsung dengan baik karena didukung oleh dua hal; (1) pemerintah merupakan pemegang saham mayoritas pada hampir semua bank peserta merger, dan (2) pemerintah masih memberikan penjaminan terhadap seluruh kewajiban bank (blanket guarantee) pada saat terjadinya merger.

Para pemilik bank tentu juga telah memperhitungkan bahwa merger dapat pula tidak menghasilkan sinergi atau nilai tambah apapun. Dalam kondisi sinergi tidak tercipta, energi para peserta merger justru akan terkuras untuk menyelesaikan komplikasi permasalahan internal.
Apabila bank hasil merger kondisinya semakin memburuk dan tidak dapat memenuhi tingkat kesehatan minimum yang dipersyaratkan, bank tersebut juga akan berpotensi untuk dicabut izin usahanya dan menjadi “pasien” LPS.

Akuisisi dianggap lebih menarik karena prosesnya relatif lebih mudah, selain itu ada indikasi sebagian pemilik bank kecil berniat hengkang dari bisnis perbankan. Hal tersebut disebabkan oleh makin kompetitifnya persaingan bisnis antar bank serta makin ketatnya pengaturan (reregulasi) terhadap bank, pengurus, maupun pemiliknya.

Bagaimana Agar Merger Berhasil?

Kendala operasional yang acapkali dihadapi dalam proses merger antara lain: perbedaan budaya kerja; penetapan visi dan misi pascamerger; pengurangan duplikasi dan redudansi; pelaksanaan sosialisasi dan internalisasi, penetapan platform teknologi informasi, serta rasionalisasi pekerja.
Agar berhasil perencanaan merger harus dibuat dengan berbagai skenario untuk mengantisipasi kondisi terburuk yang mungkin timbul. Permasalahan yang dihadapi masing-masing bank sedapat mungkin diselesaikan sebelum proses merger.

Dengan tenggat waktu yang relatif sempit, bank yang berniat merger ada baiknya mencari pasangan yang memiliki sebanyak mungkin persamaan terutama dalam budaya kerja, falsafah perusahaan, dan fokus bisnis. Sedangkan visi dan misi bank dapat dirumuskan dengan melanjutkan visi dan misi salah satu bank atau merupakan gabungan.

PHK sebagai dampak merger pada umumnya tidak dapat dihindari. Untuk mengurangi munculnya dampak sosial bahkan politik dari PHK tersebut, perlu disiapkan formula golden-shakehand yang atraktif bagi mereka yang terpaksa harus diputus hubungan kerjanya dengan tetap memperhatikan kemampuan bank.

Sosialisasi dan internalisasi kepada para pekerja perlu dilakukan agar proses merger dapat dipahami, didukung, dan dilaksanakan. Kegagalan dalam melakukan komunikasi internal, akan menyebabkan pekerja bukan hanya tidak mendukung bahkan akan menghambat proses merger. Pengelolaan sumber daya manusia sering dianggap sebagai salah satu faktor kunci kesuksesan merger.

Program komunikasi juga perlu dilakukan kepada segenap nasabah, relasi, dan mitra usaha terutama mengenai dampak yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan proses merger. Ketidakpastian visi dan masa depan bank pascamerger dapat mengakibatkan nasabah, relasi, dan mitra usaha beralih ke bank lain.

Pada akhirnya bank yang berencana merger harus siap untuk mengorbankan kepentingan jangka pendek demi mendapatkan hasil dalam jangka panjang (short term pain for long term gain). Agar mendapatkan hasil maksimal ada baiknya bank mencoba mempraktekkan tesisnya Profesor Yohanes Surya PhD, yakni Mestakung (seMesta menduKung).

Berdasarkan tesis tersebut untuk mencapai sukses seseorang harus menempatkan dirinya dalam kondisi kritis dengan menetapkan sasaran setinggi mungkin dan bertindak sedini mungkin. Dalam kondisi tersebut alam semesta akan mendukung sehingga akan menghasilkan ide dan gagasan, serta dapat melakukan hal luar biasa yang tidak mungkin terjadi dalam kondisi normal.

No comments: